Gagasan dan konsep Sosialisme_Islam

Templat:Islamisme sidebar

Zakat

Rencana utama: Zakat

Sebagai salah satu Rukun Islam, zakat (khususnya zakat maal) adalah praktik pengenaan (bukan amal) pemberian berdasarkan atas akumulasi kekayaan (sekitar 2.5% dari semua aset finansial yang dimiliki selama satu tahun qamariah). Zakat dibebankan kepada semua Muslim dewasa yang mampu secara kewangan dan dianggap sebagai tindakan kesalehan ketika seseorang mengungkapkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan sesama umat Islam, serta melestarikan keharmonisan sosial antara yang kaya dan yang miskin.[12] Zakat mendorong redistribusi kekayaan yang lebih setara dan menumbuhkan rasa solidaritas diantara anggota umat .[13]

Zakat dimaksudkan untuk mencegah penimbunan modal dan merangsang investasi. Karena masing-masing individu harus membayar zakat atas kekayaan bersihnya, Muslim yang kaya didorong untuk melakukan investasi dalam usaha yang menguntungkan, atau sebaliknya akan melihat kekayaannya perlahan terkikis. Selanjutnya, alat produksi seperti peralatan, kilang , dan perlengkapan dikecualikan dari zakat, yang selanjutnya memberi insentif untuk menginvestasikan kekayaan di bisnis produktif.[14] Aset pribadi seperti pakaian, perabot rumah tangga, dan satu tempat tinggal tidak dianggap sebagai aset wajib zakat.

Menurut Al-Quran, ada delapan kategori orang (asnaf) yang berhak menerima dana zakat:[15][16]

  1. Yang hidup dalam kemiskinan ekstrem (Al-Fuqarā').
  2. Yang kekurangan karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya (Al-Masākīn).
  3. Panitia penerima dan pengelola zakat (Al-Āmilīna 'Alaihā).
  4. Non-Muslim yang bersimpati terhadap Islam atau ingin masuk Islam (Al-Mu'allafatu Qulūbuhum).
  5. Orang yang berusaha lepas dari perbudakan atau kekangan. Termasuk juga dalam pembayaran tebusan atau uang darah (Diyya). (Fir-Riqāb)
  6. Yang memiliki banyak hutang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. (Al-Ghārimīn).
  7. Yang berjuang dalam jalan agama dan jalan Allah (Fī Sabīlillāh)[17] atau Jihad di jalan Allah[18] dan untuk pejuang Islam yang berperang melawan orang tidak beriman tapi bukan bahagian dari prajurit yang digaji.[19][20]
  8. Musafir atau pelajar perantauan (Ibnus-Sabīl).

Menurut hadis, keluarga Muhammad tidak boleh menggunakan zakat apa pun. Zakat tidak boleh diberikan kepada orang tua, datuk nenek, anak, cucu, atau pasangan pemberi. Dilarang pula mengeluarkan zakat untuk mendanai investasi selain memberikan secara langsung kepada yang membutuhkan.[21] Fi Sabillillah adalah asnaf paling menonjol di masyarakat Asia Tenggara kerana luasnya penafsiran yang melingkupi pendanaan usaha dakwah, sekolah Al-Quran dan kegiatan lain yang melayani masyarakat (umat) secara umum.[22] Zakat dapat juga digunakan untuk membiayai usaha jihad di jalan Allah. Dana zakat harus digunakan untuk usaha penegakkan bendera Islam.[23][24] Selain itu, dana zakat dapat digunakan untuk administrasi sistem pengumpulan zakat yang tersentralisasi.

Di Britania Raya, menurut survey dari 4.000 orang yang dilakukan Zarine Kharas, Muslim saat ini memberikan amal lebih banyak dibandingkan kelompok dari agama lainnya.[25] Dalam hitungan Dollar Amerika Serikat, rata-rata seorang Muslim memberikan $567, dibandingkan Yahudi rata-rata $412, Kristen Protestan rata-rata $308, Kristen Katolik rata-rata $272 dan ateis rata-rata $177.[25] Saat ini, perkiraan kasar zakat tiap tahun kira-kira sebanyak 15 kali kontribusi bantuan kemanusiaan global.[26]

Negara kesejahteraan

Rencana utama: Baitul Mal

Konsep kesejahteraan dan pensiun dikenalkan pada hukum Islam awal dalam bentuk Zakat (amal), salah satu Rukun Islam, di bawah Khalifah Ar-Rasyidin pada abad ke-7. Praktik ini berlanjut sampai dengan masa Kekhalifahan Abbasiyah. Pajak (termasuk zakat dan jizyah dikumpulkan di perbendaharaan pemerintahan Islam dan digunakan untuk menyediakan pendapatan untuk yang membutuhkan, termasuk di antaranya orang miskin, manula, yatim, janda, dan disabilitas. Menurut teolog Al-Ghazali (1058-1111), pemerintah juga harus mengumpulkan persediaan makanan di setiap wilayah jika sewaktu-waktu terjadi musibah atau kelaparan. Kekhalifahan dapat pula dianggap sebagai negara kesejahteraan utama pertama di dunia.[27][28]

Pada masa Khalifah Ar-Rasyidin, berbagai program kesejahteraan dikenalkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Pada masa kekuasaannya, kesetaraan diberlakukan kepada semua rakyatnya, bahkan kepada khalifah itu sendiri, karena Umar bin Khattab percaya bahawa "tidak ada seorang pun, tidak peduli seberapa penting, hidup dengan cara yang dapat membedakannya dengan orang lain". Umar sendiri hidup dalam "kesederhanaan dan melepaskan diri dari kemewahan duniawi", seperti bagaimana dia sering kali memakai "sepatu usang dan biasanya memakai pakaian yang ditambal", atau bagaimana dia mau tidur "di atas lantai tanpa alas di masjid". Pembatasan kekayaan juga diatur untuk gubernur dan pejabat, yang sering kali "diberhentikan jika menunjukkan tanda-tanda keangkuhan atau kekayaan yang dapat membedakannya dengan penduduk lainnya". Ini adalah usaha awal untuk menghapus "perbedaan kelas yang pasti dapat menimbulkan konflik". Umar juga memastikan bahawa perbendaharaan publik tidak akan dibuang untuk "kemewahan yang tidak perlu" karena dia percaya bahawa "uang itu lebih baik dihabiskan untuk kesejahteraan rakyat dibandingkan kepada bata tak bernyawa".[28]

Pada masa bencana kelaparan pada Tahun 18 Hijriah, Umar melaksanakan reformasi yang lebih jauh, seperti pengenalan pendistribusian makanan menggunakan kupon, yang diberikan kepada yang membutuhkan dan dapat ditukar dengan gandum dan tepung. Konsep inovatif lainnya adalah pengenalan garis kemiskinan, dengan upaya untuk memastikan standar hidup minimum. Program ini memastikan seluruh rakyat di kekhalifahan tidak ada yang kelaparan. Untuk menentukan garis kemiskinan, Umar memerintahkan eksperimen untuk mengetes seberapa banyak seer (1.25kg) tepung yang dibutuhkan untuk memberi makan satu orang dalam sebulan. Dia menemukan bahawa 25 seer tepung dapat memberi makan 30 orang, dan dia menyimpulkan bahawa 50 seer tepung dapat mencukupi makan seorang dalam sebulan. Akhirnya,dia memerintahkan untuk memberikan penjatahan makanan kepada orang miskin sebanyak 50 seer tepung per bulan. Sebagai tambahan, kaum miskin dan disabilitas dijamin tunjangan uang tunai. Untuk menghindari adanya penduduk yang memanfaatkan pelayanan pemerintah, "mengemis dan bermalas-malasan tidak ditolelir" dan "yang menerima tunjangan pemerintah diharapkan berkontribusi dalam masyarakat".[28]

Remormasi lebih jauh dilakukan kemudian di bawah Kekhalifahan Umayyah. Tentara terdaftar yang mengalami disabilitas ketika bertugas mendapatkan pensiun disabilitas, dan tunjangan yang sama diberikan kepada kaum disabilitas dan kaum miskin secara umum. Khalifah Al-Walid bin Abdul-Malik memberikan tunjangan dan pelayanan kepada yang membutuhkan, termasuk uang kepada kaum miskin, pemandu untuk kaum tunanetra, dan pelayan kepada disabilitas, serta pensiun untuk semua orang disabilitas sehingga mereka tidak perlu mengemis. Khalifah Al-Walid bin Yazid dan Umar bin Abdul-Aziz menyediakan uang dan pakaian kepada tunanetra dan disabilitas, serta pelayan kepada disabilitas. polisi ini berlanjut sampai Khalifah Al-Mahdi pada masa Kekhalifahan Abbasiyah.[29] Tahir bin Husayn, gubernur Khorasan Raya Kekhalifahan Abbasiyah, menuliskan dalam surat kepada anaknya bahawa tunjangan dari perbendaharaan harus diberikan kepada tunanetra, mengurus kaum miskin secara umum, memastikan tidak abai terhadap orang tertindas yang tidak dapat protes dan tidak tahu untuk mengklaim haknya, dan bahawa tunjangan itu harus diberikan kepada korban bencana, serta janda dan yatim korban bencana. "Kota ideal" yang dijelaskan oleh filsuf Islam, Al-Farabi dan Ibnu Sina, juga memberikan dana kepada disabilitas.[30]

Ketika penduduk terkena bencana kelaparan, penguasa sering kali membantu mereka dengan pengurangan pajak, impor makanan, pemberian amal, sehingga memastikan setiap orang dapat mencukupi makan. Bagaimanapun, amal pribadi melalui institusi wakaf sering kali memainkan peran lebih besar dalam pengentasan kelaparan dibandingkan tindakan pemerintah.[31] Sejak abad ke-9, dana dari perbendaharaan juga digunakan untuk wakaf dengan tujuan membangun dan mendukung institusi publik, sering kali institusi pendidikan madrasah dan rumah sakit bimaristan.[32]

Penjaminan pendapatan minimum

Penjaminan pendapatan minimum adalah sistem[33] penyediaan kesejahteraan sosial yang menjamin semua warga negara atau keluarga memiliki pendapatan yang cukup untuk hidup, asalkan mereka memenuhi syarat tertentu. Kelayakannya secara tipikal ditentukan oleh kewarganegaraan, tes kelayakan, dan ketersediaan pasar tenaga kerja atau kemauan untuk melakukan pelayanan masyarakat. Tujuan utama pendapatan minimum terjamin adalah untuk melawan kemiskinan. Jika kewarganegaraan menjadi satu-satunya syarat, sistem ini berubah menjadi pendapatan dasar universal. Khalifah Muslim pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq mengenalkan penjaminan standar minimum pendapatan, memberikan setiap laki-laki, wanita, dan anak-anak sepuluh dirham setiap tahun; yang kemudian ditambah menjadi dua pulu dirham.[34] Sebagian, tetapi tidak semua sosialis Islam menganjurkan pembaruan dan perluasan polisi ini.

Rujukan

WikiPedia: Sosialisme_Islam http://www.financeinislam.com/article/1_37/1/309 http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati... http://www.islambasics.com/view.php?bkID=20&chapte... http://medialternatives.com/tag/social-wage/ http://www.missionislam.com/knowledge/zakat.htm http://worldnews.nbcnews.com/_news/2013/07/22/1961... http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t1... http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t1... http://what-when-how.com/social-sciences/socialism... http://etd.fiu.edu/ETD-db/available/etd-0201108-17...